Selasa, 12 Mei 2015

Seputar 'Death Penalty'

Tentu kita sudah mafhum, ada peristiwa pada Rabu, 29 April 2015 sekitar pukul 00.25 dini hari WIB. Dua gembong narkoba asal Australia dieksekusi di Lapas Nusakambangan Cilacap, Jateng. Peristiwa ini sempat menimbulkan kemarahan (anger) sebagian warga Australia dan kekecewaan dari PM Abbot dan Menlu Julie Bishop. Pernyataan dan ancamanpun dilontarkan, yang puncaknya adalah pemulangan duta besarnya dari Jakarta dan ‘safari’ penggalangan dukungan penghapusan hukuman mati ke sejumlah negara. Sebagian kalangan berpandangan bahwa hukuman mati itu tidak perlu diberlakukan kepada seseorang seberat apapun kejahatannya. Sebab, hukuman mati tidak efektif  menurunkan angka kejahatan di dunia. Atas dasar ‘kesucian’ hidup manusia, hukuman matipun dianggap melanggar hak-hak asasi (hidup) manusia. Pada hakekatnya, manusia yang satu tidak punya hak untuk ‘mengambil’ hidup manusia lainnya. Dari sini, pro dan kontra pun mengemuka, baik di Indonesia maupun Australia. Mereka yang ‘pro’ lazimya menggunakan bendera HAM sebagai dasar penolakan, sementara yang ‘kontra’ melihat dari sisi akibat maksimal dari sebuah kejahatan. Konon, di Bali, para bandar narkoba memanfaatkan anak-anak untuk menjualkan barangnya dengan upah sekedarnya, sementara anak-anak itu tidak mengetahui bahwa yang dipegangnya itu adalah barang yang sangat berbahaya. Meski berita ini mungkin tidak sepenuhnya benar, kenyataannya memang, sudah tak terhitung jumlah generasi muda yang meninggal lantaran penyalahgunaan narkoba ini. Terlepas dari intervensi kepentingan politik ataupun kepentingan-kepentingan personal lainnya, pro dan kontra hukuman mati dimungkinkan terus berlanjut, seiring klaim hak masing-masing individu untuk ‘setuju’ atau ‘tidak setuju’ dengan hukuman mati.