Tentu
kita sudah mafhum, ada peristiwa pada Rabu, 29 April 2015 sekitar pukul 00.25
dini hari WIB. Dua gembong narkoba asal Australia dieksekusi di Lapas
Nusakambangan Cilacap, Jateng. Peristiwa ini sempat menimbulkan kemarahan
(anger) sebagian warga Australia dan kekecewaan dari PM Abbot dan Menlu
Julie Bishop. Pernyataan dan ancamanpun dilontarkan, yang puncaknya adalah
pemulangan duta besarnya dari Jakarta dan ‘safari’ penggalangan dukungan penghapusan
hukuman mati ke sejumlah negara. Sebagian kalangan berpandangan bahwa
hukuman mati itu tidak perlu diberlakukan kepada seseorang seberat apapun
kejahatannya. Sebab, hukuman mati tidak efektif
menurunkan angka kejahatan di dunia. Atas dasar ‘kesucian’ hidup manusia,
hukuman matipun dianggap melanggar hak-hak asasi (hidup) manusia. Pada hakekatnya, manusia yang satu tidak punya hak untuk ‘mengambil’ hidup
manusia lainnya. Dari sini, pro dan kontra pun mengemuka, baik di Indonesia
maupun Australia. Mereka yang ‘pro’ lazimya menggunakan bendera HAM sebagai dasar penolakan, sementara yang ‘kontra’ melihat
dari sisi akibat maksimal dari sebuah kejahatan. Konon, di Bali, para
bandar narkoba memanfaatkan anak-anak untuk menjualkan barangnya dengan upah
sekedarnya, sementara anak-anak itu tidak mengetahui bahwa yang dipegangnya itu
adalah barang yang sangat berbahaya. Meski berita ini mungkin tidak sepenuhnya
benar, kenyataannya memang, sudah tak terhitung jumlah generasi muda yang
meninggal lantaran penyalahgunaan narkoba ini. Terlepas dari intervensi
kepentingan politik ataupun kepentingan-kepentingan personal lainnya, pro dan
kontra hukuman mati dimungkinkan terus berlanjut, seiring klaim hak
masing-masing individu untuk ‘setuju’ atau ‘tidak setuju’ dengan hukuman mati.