Senin, 28 Mei 2018

DEMI

‘Demi’ adalah kata yang gampang diucapkan, tapi tidak mudah dipraktekkan secara hakiki. ‘Demi’ seringkali hanya sebagai retorika untuk menarik perhatian massa dan pengindah ungkapan untuk menipu dan menghancurkan. Iblis berhasil menggoda Nabi Adam setelah dia bersumpah atas nama Allah bahwa yang dilakukannya itu adalah semata-mata ‘demi’ Nabi Adam agar kekal di surga. Lalu, Nabi Adam pun luluh oleh bujuk rayu Iblis dan terusir dari surga. Saat menjelang Pemilu, para kandidat juga tidak jarang menggunakan kata ‘demi’ selama kampanye; ‘demi’ rakyat kecil, ‘demi’ kemakmuran rakyat, ‘demi’ kesejahteraan masyarakat luas, ‘demi’ menjunjung tinggi hukum dan nilai-nilai luhur dasar negara dan sebagainya. Namun, begitu terpilih, mereka berganti arah menjadi ‘demi’ kekuasaan dan harta benda bahkan wanita. Naudzubillah.

Jika kita pahami, dalam kata ‘demi’ secara hakiki terkandung konsekuensi-konsekuensi dan esensi sebuah tujuan. Saat diri berucap “demi Allah”, maka konsekuensinya adalah tidak boleh ada ‘demi’ yang lain selain Dia dan kita berupaya sekuat tenaga melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan rasa penuh hina dihadapan-Nya. ‘Demi’ Allah berarti tidak menuhankan siapapun/apapun selain Dia dan tidak pula menuhankan pencitraan diri. Ketika kita berucap “demi anak-anak”, maka anak-anaklah yang lebih utama ketimbang yang lain, dan kita mesti rela berkorban apapun untuk kebaikan dan kemuliaan mereka. ‘Demi keadilan’ berarti menyatukan diri dengan prinsip-prinsip keadilan yang diyakini, bukan malah memanfaatkan terminologi ‘keadilan’ sebagai alat untuk ‘kepuasan’ sendiri.