‘Demi’
adalah kata yang gampang diucapkan, tapi tidak mudah dipraktekkan secara
hakiki. ‘Demi’ seringkali hanya sebagai retorika untuk menarik perhatian massa
dan pengindah ungkapan untuk menipu dan menghancurkan. Iblis berhasil menggoda
Nabi Adam setelah dia bersumpah atas nama Allah bahwa yang dilakukannya itu
adalah semata-mata ‘demi’ Nabi Adam agar kekal di surga. Lalu, Nabi Adam pun
luluh oleh bujuk rayu Iblis dan terusir dari surga. Saat menjelang Pemilu, para
kandidat juga tidak jarang menggunakan kata ‘demi’ selama kampanye; ‘demi’
rakyat kecil, ‘demi’ kemakmuran rakyat, ‘demi’ kesejahteraan masyarakat luas,
‘demi’ menjunjung tinggi hukum dan nilai-nilai luhur dasar negara dan
sebagainya. Namun, begitu terpilih, mereka berganti arah menjadi ‘demi’
kekuasaan dan harta benda bahkan wanita. Naudzubillah.
Jika
kita pahami, dalam kata ‘demi’ secara hakiki terkandung konsekuensi-konsekuensi
dan esensi sebuah tujuan. Saat diri berucap “demi Allah”, maka konsekuensinya
adalah tidak boleh ada ‘demi’ yang lain selain Dia dan kita berupaya sekuat
tenaga melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan rasa penuh
hina dihadapan-Nya. ‘Demi’ Allah berarti tidak menuhankan siapapun/apapun
selain Dia dan tidak pula menuhankan pencitraan diri. Ketika kita berucap “demi
anak-anak”, maka anak-anaklah yang lebih utama ketimbang yang lain, dan kita
mesti rela berkorban apapun untuk kebaikan dan kemuliaan mereka. ‘Demi
keadilan’ berarti menyatukan diri dengan prinsip-prinsip keadilan yang
diyakini, bukan malah memanfaatkan terminologi ‘keadilan’ sebagai alat untuk
‘kepuasan’ sendiri.